Kamis, 29 September 2011

Teknologi yang “Membuat Gila” Seorang Bapak

Di siang hari yang terik ini. Aku duduk di belakang meja panjang sembari bersantai sambil menjajakan daganganku di depan sebuah sekolah dasar negeri. Sekolah dasar yang konon katanya biaya pendidikan di tiap bulannya gratis tanpa dipungut biaya sepeser pun kecuali untuk biaya membeli LKS (lembar kerja siswa).
Well, ketika aku sedang mengecek daganganku, tiba-tiba bangku kosong di sebelahku diduduki seorang bapak-bapak setengah baya yang biasa menjemput anak gadisnya pulang dari sekolah tersebut.
Sekilas ku pandang, kuperhatikan, dia tampak biasa dengan dandanan yang apa adanya itu. Celana pendek selutut, kaos santai dan sepuntung rokok di tangannya. Dengan sepeda bututnya itu, sehari-hari ia gunakan untuk bekerja, bepergian maupun menjemput anaknya ini. Sudah kesekian kalinya, si bapak ini selalu menunggu anak bungsunya di warung milikku sambil berbincang ringan dengan topik yang selalu berbeda.
Beberapa menit kami terdiam dalam keramaian. Karena aku tidak betah dengan keadaan ini. Akhirnya ku mulai percakapan singkat dengan si bapak itu.
Aku                   : “Dereng medhal nggih, Pak, putrinipun?”
(Belum keluar ya pak putrinya?)
Si bapak            : “Dereng mbak. Kadang ki mboten pas lhe methu mbak. Jadwale jam kaleh welas tapi lhe metu setengah setunggal.”
(Belum mbak. Kadang itu tidak pas keluarnya mbak. Jadwalnya jam 12 tapi yang keluar jam setengah satu)
Kami terutama aku, biasanya berbincang dengan bahasa yang campur aduk. Terkadang menggunakan bahasa Indonesia ataupun jawa campuran (krama dan ngoko). Dan kalau si bapak sudah menggunakan bahasa jawa halus. Aku pun kelimpungan untuk menyusun tata bahasa jawa halus pula. Dan akhirnya malah jadi campuran. Tapi, itu tidak masalah, yang terpenting komunikasi kami  berjalan lancar.
Baiklah, percakapan kami pun berlanjut dengan obrolan yang beraneka ragam. Hingga si bapak mencurahkan isi hatinya.
Si bapak            : “Wah, mbak, wingi kulo kaleh lare kulo ten toko hape mriko. Monjali mengidul. Mbok getun tenan mbak. Wes panas-panas, adoh, ora enthok opo-opo,” ucap si bapak bercerita dengan wajah yang begitu gelo dan nampak terlihat guratan keriput di wajahnya yang ikut mempertegas kalau dia begitu menyesal dan kesal.
(wah mbak, kemarin saya dan anak saya pergi ke toko hape. Monjali ke selatan. Jengkel sekali mbak)
Aku                   : “Lha pripun tho pak?” aku pun antusias untuk menyimak segala kekesalan si bapak itu.
                          (Lha bagaimana pak?)
Si bapak            : “Kulo kan numbaske hape anak kula ten kidul monjali niku 5 bulan lalu. Lha wingi arep kulo tukar tambah kalih hape sing niku lho mbak, sing layare gedhe niku. Eh, lha kok tekan nggone hapene anak kulo malah ditawar murah banget. Padahal kulo tumbase nggih ten mriko. Jarene bakule hape anak kulo rusak suarane. Kon nyervis simek. Yowes mbak, ra sidho tak tukar tambah. Mending nggo tuku anyar. Tapi mbok getun tenan mbak. Wes adoh. Panas. Lhe ngepit niku lho mbak,” cerita si bapak menggebu-nggebu seraya menumpahkan segala kekesalannya atas apa yang terjadi pada dirinya.
                          (saya kan membelikan hape anak saya di selatan monjali itu 5 bulan lalu. Kemarin itu mau saya tukar tambah dengan hape yang itu lho mbak, yang layarnya besar. Eh, sampai tempatnya kok hape anak saya ditawar murah sekali. Kata penjualnya hape anak saya rusak suaranya. Disuruh servis dulu. Yasudah mbak, tidak jadi tukar tambah. Lebih baik beli baru. Tapi jengkel sekali mbak. Sudah jauh. Panas. Yang naik sepeda itu lho mbak.)
Aku                   : “Nggih pun sabar pak. Mending tumbas sing anyar mawon daripada didol malah mudhun katah.” Aku pun hanya bisa memberi komentar seperti itu.
                          (Ya yang sabar pak. Lebih baik beli yang baru saja daripada dijual turun banyak.)
Seketika itu, keheningan terjadi diantara kami. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Hanya kendaraan yang lalu lalang yang menghiasi pemandangan siang hari itu.
Beberapa menit kemudian, ada sesuatu yang ingin ku tanyakan pada si bapak.
Aku                   : “Lhoh pak, lare SD kok angsal mbetho hape tho pak? Kaleh guru mboten didukani menopo?”
                          (Lhoh pak, anak SD kok boleh membawa hape pak? Sama guru apa tidak dimarahi?)
Si bapak            : “Sakjane nipun mboten angsal mbetho mbak. Anak kulo niku nggih lhe mbetho meneng-meneng mbak. Nek nganti ketauan guru nggih disita ngantos jam pelajaran bubar. Kulo nate dipanggil ten sekolah gara-gara anak kulo ketauan mbetho hape,” beber si bapak dengan penuh kesedihan.
                          (Sebenarnya tidak boleh bawa mbak. Anak saya itu ya membawanya diam-diam mbak. Kalau sampai ketauan guru nanti disita sampai jam pelajaran selesai. Saya pernah dipanggil ke sekolah gara-gara anak saya ketauan membawa hape.)
Aku                   : “Oalah.. Kok neko-neko tho pak anak SD dho mbetho hape? Ngge nopo tho pak?” tanyaku penuh penasaran kenapa anak SD jaman sekarang kebanyakan membawa handphone ke sekolah. Padahal jaman ku dulu, handphone sangat mewah bahkan tak ada yang punya.
                          (Oalah.. kok aneh-aneh sih pak anak SD pada membawa hape? Untuk apa sih pak?)
Si bapak            : “Niku lho mbak. Dingge sms ngabari nek manthuk jam pinten. Nek dereng dipethuk, saget sms.”
                          (Itu lho mbak. Dipakai untuk sms mengabari kalau pulang jam berapa. Kalau belum dijemput bisa sms.)
Aku                   : “Oooooh… Kulo rumiyin jaman nipun wartel pak, hehe.” canggih sekali anak jaman sekarang. Gahuuul. Aku tak habis pikir dengan alasan yang dibuat oleh anak-anak itu. Alasan sebenarnya atau alibi saja untuk dibelikan handphone seperti milik teman-temannya. Dan yang terpenting, mereka membutuhkan pulsa dan bisa dibayangkan berapa uang saku mereka. ckck.
                          (Ooooh… Saya dulu jamannya wartel pak, hehe.)
Si bapak            : “Sak niki wartel jarang nggih mbak. Malah mboten wonten,”
                          (Sekarang wartel jarang mbak. Malah tidak ada.)
Aku                   : “Nggih pak. Pun wonten handphone.”
                          (Iya pak. Sudah ada handphone.)
Si bapak            : “Mbak, hape sing layare gedhe niku nopo mbak jenenge, berry?”
                          (Mbak, hape yang layarnya besar itu namanya apa mbak, berry?)
Aku                   : “Blackberry?
Si bapak            : “Nggih niku mbak. Sak niki pinten nggih mbak?
                          (Iya itu mbak. Sekarang harganya berapa ya mbak?)
Aku                   : “Nek niku tasih awis pak. Paling mirah nggih sak yuta setengah.”
                          (Kalau itu masih mahal pak. Paling murah ya satu juta setengah.)
Si bapak            : “Larang yo mbak, hehe.”
                          (Mahal ya mbak, hehe.)
Aku                   : “Lha pripun tho pak,” rasa penasaran ku menggelitik untuk tau lebih jauh.
                          (Lha ada apa pak?)
Si bapak            : “Niku lho, mbak, anak kulo kepingin tumbas hape sing layare gedhe koyo blackberry niku. Wonten kamerane. Anak kulo kepengaruh rencang-rencange mbak. Rencang-rencange dho mbetho hape sing wonten kamerane lan layare gedhe. Wah susah kulo mbak nek pun njaluk e koyo ngoten,” curhat si bapak panjang lebar dengan wajah memelas.
                          (Itu lho mbak, anak saya kepingin beli hape yang layarnya besar seperti blackberry itu. Ada kameranya. Anak saya terpengaruh teman-temannya mbak. Teman-temannya pada membawa hape yang ada kamera dan layar besar. Wah susah mbak kalau sudah minta yang seperti itu.)
Aku                   : “Nggih mboten usah dituruti pak. Nopo ditumbaske sing mirah-mirah mawon. Sak niki katah hape sing bentuke koyo blackberry tapi merk China pak. Regi nipun nggih mirah,” aku mencoba memberi solusi kepada si bapak. Walaupun ada perasaan kasihan dan tak tega padanya.
                          (Ya tidak perlu dituruti, pak. Atau dibelikan yang murah-murah saja. Sekarang banyak hape yang bentuknya seperti blackberry tapi merk China pak. Harganya ya murah pak.)
Percakapan singkat di siang hari itu begitu membekas dan mengena di diriku. Pasalnya, kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini, tak dapat dipungkiri mempengaruhi perilaku seorang anak yang tadinya nrimo dengan keadaan orang tua berubah menjadi anak yang penuntut. Penuntut untuk memiliki barang elektronik seperti hape dengan fitur yang lebih canggih tanpa memedulikan penghasilan dari orang tuanya sebesar berapa. Tanpa mengerti dengan keadaan perekonomian keluarganya. Sangat menyedihkan sekali. Dan hal tersebut belum sepantasnya dilakukan oleh bocah berumur 10 tahun yang notabene belum sepenuhnya butuh akan kehadiran handphone di kehidupan sehari-harinya.
Dari keadaan seperti seorang anak yang membawa handphone ke sekolah pun dapat menimbulkan kecemburuan sosial diantara teman-temannya. Pasalnya ada tipe seorang anak yang “pinginan (kepingin)” jika ada teman-temannya yang memiliki handphone. Tipe seperti ini cenderung menuntut orang tua agar dibelikan barang yang sama dengan temannya tersebut tanpa mengetahui keadaan orang tua. Dan orang tua yang terbiasa memanjakan anak, akan dengan mudah menurutinya meskipun sebenarnya tak ada uang. Hmmmmh, benar-benar teknologi membuat gila para orang tua. Terkadang kehadirannya mempermudah hidup. Terkadang pula kemunculannya membuat gila. Berlaku arif dan bijaksanalah dengan kehadirannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Waiting for your comment, guys! Thankyou so much :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...