Minggu, 28 Desember 2014

Bahagia itu Tiga Jam

Bahagia itu sederhana.
Ngobrol via telpon yang isi obrolannya itu random dari yang penting, nggak penting sampe sekedar ngebahas lagu anak-anak yang lagi ngehits. Apa aja bisa jadi obrolan.
.
Bahagia itu absurd.
Ngobrol random yang nggak melulu harus pakai teori dan harus kelihatan menonjol terlihat pandai di depan lawan bicara. Yang penting jadi diri sendiri dan nggak membosankan.
.
Bahagia itu konyol.
Masing-masing saling mengisi obrolan dengan menyanyi bergantian. Meskipun suara tak seindah milik Sherina dan yang ada justru datar dan fals. Hahaha. Tapi yang penting bahagia.
.
Bahagia itu jayus.
Ngobrol via telpon yang ada beberapa jeda waktu bukannya diem bingung mau ngomong apa. Tapi yang ada malah ketawaan nggak jelas cekikikan yang hanya masing-masing dari kita yang tahu maknanya ataupun menertawai masing-masing dari kita yang jayus atau say silly thing.
.
Bahagia itu ya sesederhana itu.
Tanpa perlu bermuka dua.
Tanpa perlu menjadi oranglain.
Tanpa perlu menjaga image supaya terlihat sempurna.
Dan tanpa perlu ada batas serta sekat triplek.
Bahagia itu cukup ketika random dan absurs menjadi tema obrolan
.
.

Good nite ❤
Jangan lupa istirahat ya!  ����

Jumat, 26 Desember 2014

UP to you

Ketika kamu sedang membatin ataupun memikirkan seseorang di dalam hati maupun pikiran, lalu tiba-tiba dia muncul begitu saja di sebuah telepon.
.
Apakah itu suatu kebetulan belaka?
Kebetulan memang dia ingin menelpon atau kebetulan saja pas aku lagi membatin dan dia datang menelpon.
.
Atau semua itu sudah rencana Tuhan?
Tapi untuk apa Tuhan merencanakan semua ini?
.
Sudahlah..
Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu..
Rumput pun juga begitu, ketika ditanya hal yang sama dia hanya bergoyang..
.
Ahaa! Atau sebuah piring terbang datang mendarat di belakang rumahnya. Dan tiba-tiba dia teringat padaku yang gembul ini..
Ah sudahlah..
.
.
Mari kita melanjutkan menonton film UP.
*better watching film UP than being ndembik, awkward*
.
.
Nite ❤

Kamis, 25 Desember 2014

Gigiku Gigi Sehat.

Petang hari (23/12/14). Di sebuah klinik gigi di daerah Jalan Diponegoro, Samarinda. Smile Dental Care. Dan disela-sela diotak atik ini gigi. Aku melontarkan beberapa pertanyaan.
"Dok, pasta gigi yang cocok buat gigi saya ini apa ya?"
"Kalau itu tergantung iman dan kepercayaan masing-masing," jawab si dokter setengah tertawa tapi nanggung. Bisa dijamin, beberapa kata terakhir pada pertanyaanku tidak begitu terdengar.
"Yah, dokter mah," aku menghela nafas sambil melirik dokter yang keturunan China itu. Berharap si dokter gigi bisa menjawab dan memberi solusi gigiku ini.
"Tapi ya kalau gigi sensitif mending pakai pasta gigi yang untuk gigi sensitif," kata dokter kembali membuka suara.
Kayaknya dia sadar, kalau jawaban pertama tidak memenuhi kualifikasi sebuah pertanyaan.
"Oh gitu ya, dok." Ini dokter berkacamata bener-bener pun jadi dokter netral. Bikin gemes. Padahal kan pasta gigi untuk gigi sensitif banyaaaak bingips yang ada di pasaran, doook. Ada yang p*psodent, s*nsodyne, and so on.
Karena aku enggan bertanya lagi dan dapat dipastikan jawabannya datar ((lagi)). Aku pun memilih diam dan menikmati si gigi diapa-apa in sama dr. Krisdiyanto, dokter yang ternyata dokter spesialis konservasi gigi yang notabene detail banget, pembersih dan irit ngomong *mungkin dokter lagi sakit gigi. Dokter gigi juga boleh dong sakit gigi.*
Pantes aja, gigiku masih harus melewati 5 step lagi. Dan memang sepertinya bagus kinerja bapak dokter ini.
*Duh Gusti, paringono rejeki berlimpah. Amin*

Bye-bye December. Nice to Meet You..

Aku masih belum bisa terima dengan pensil ajaib milik Mu, Tuhan.
"Kenapa Tuhan, harus seperti ini?"
.
Sebelum pengumuman datang, aku selalu berdoa untuk diajarkan belajar ikhlas dan legowo ketika memang harus pergi ke ujung daerah itu dan menerima takdirmu, menua di sana and so on.
Namun pada akhirnya, Engkau justru sebaliknya. Engkau berhasil membuatku belajar ikhlas dan legowo tapi untuk menerima kenyataan bahwa aku belum beruntung. Dan itu nyaris sekali. -sebenarnya ini yang membuatku sedikit kecewa, Tuhan. Kenapa Engkau buat nyaris?-
.
Oke Tuhan, mungkin itu tak apa-apa bagiku, insya Allah. Because to be honest, aku justru bahagia, hamdallah. Karena aku bisa pulang ke rumah. Start from zero again.
"Tapi untuk bapak ibuk, Tuhan?" Aku tahu pasti mereka kecewa karena anak pertamanya sangat diharapkan untuk lolos jadi abdi negara belum berhasil.
"Tegakah Engkau, Tuhan, padaku?" Aku belum mengabari mereka karena aku tak tega mendengar kekecewaan.
.
Dear bapak ibuk,
"Bukan kah engkau tahu, bahwa pada awalnya dan memang dari dulu aku sangat tidak ingin mendaftar?" -karena beberapa alasan yang hanya diriku sendiri yang tahu-
Hingga sampai pada akhirnya aku harus mencari hingga ke hati yang terdalam -hal apa- yang membuatku untuk tetap mendaftar, meskipun hati kecilku berontak dan setelah kontrak selesai aku ingin pulang. Membangun mimpi di kota kecil nan nyaman, Yogyakarta.
Tapi yasudah, tak ada salahnya mencoba -karena sejatinya kita berencana namun Tuhan yang menentukan, right?- dan membahagiakan orangtua -merupakan ibadah, right?- :)

Dan Tuhan memang maha penyayang melebihi apapun dan siapapun. Tuhan pun lebih mengetahui mana yang terbaik dan bukan untuk hamba Nya.
I do believe :)
Thanks God, You safe my life ({})
.
.
Semoga setelah datangnya kesedihan dan kekecewaan ini, Tuhan menggantinya dengan sejuta bahkan tak terhingga kebahagiaan, kegembiraan dan kejutan indah lainnya. Amin.
Aku percaya, Tuhan pasti menggantinya dengan sesuatu yang memang lebih baik,lebih berkah dan terbaik untuk ku di awal tahun 2015. Amin.
.
.
Terimakasih Desember.
Untuk airmata yang mengalir hampir disetiap harinya. Untuk kerasnya proses pendewasaan diri di kehidupan ini. Dan untuk pelajaran berharga lainnya.
Terimakasih Allah SWT.
Untuk semua cinta, kasih, dan sayang yang Engkau berikan untukku sehingga aku mampu bertahan hingga detik ini.
Dan terimakasih Allah SWT untuk penutup tahun 2014 yang mungkin bagi Tuhan ini awesome and nice December.
Namun aku yakin, insya Allah akan datang kebahagiaan di awal tahun 2015. Amin.
.
.
GOOD MORNING TO THE NOON :))

Rabu, 24 Desember 2014

Analogi Kita. Antara aku, kamu dan gigi.

Rasa sakitnya nggak terasa sakit dan ngilu. *efek tambalan sementara dan obat anti sakit* Tapi denyutannya itu kenceng banget, nyut nyut nyut, kayak detakan jantung yang berdetak cepat sewaktu kita bertemu di taman depan beberapa tahun yang lalu.
Dan nyut nyut nya itu bikin mau merem nggak nyaman dan bawaannya sedih pingin mewek.
Persis kayak momen dia pamit mau pergi ke negeri kincir angin. Mbrebes mili. Kayak mau pisah selamanya. Dududu..

Jadi pada intinya, tambalan sementara ini kayak pelarian ke kamu setelah dia pergi dengan yang lain ninggalin aku (ternyata dulu itu pertanda) swiiiing..

Dan pada akhirnya, tambalan itu diganti dengan yang permanen oleh Tuhan lewat tangan dokter dan insya Allah selamanya terjamin untuk menghilangkan rasa sakit sekaligus penguat kita, aku dan kamu.
Ya meskipun pada awalnya harus penuh perjuangan, melewati rasa sakit yang luar biasa dan outcome materi yang menguras tabungan. Hahahaha~ aseek~
*ngelantur kemana-mana* *gagal fokus*

Minggu, 14 Desember 2014

Masha and The Bear

Hampir setiap hari di setiap pergantian waktu, si Alpi main ke rumah. Sore kali ini tiba-tiba saja dia di depan pintu sambil garuk-garuk kaki, "gatel gatel." Eh rupanya dia digigit nyamuk di kebon. Haha. Wajahnya melas tapi lucu, sontak saja aku tertawa hahaha.
Beberapa menit kemudian dia berujar, "Masha.. Masha.." Eh ternyata ada acara Masha and The Bear, kartun kesukaanya. Diam tak bergeming. Asyik sendiri dengan Masha di televisi.
Pantesan, dia dipanggilin berkali-kali diem tak bergerak gitu. Matanya menatap sejurus ke arah kartun bocah yang berkerudung merah berteman beruang.

Dan, well. Usut punya usut. Kata si emaknya Alpi, ternyata sama bapaknya, si Alpi nggak diperbolehkan nonton itu kartun. Alasannya karena itu kartun nggak mendidik. Si Masha anaknya bandel banget dan susah dibilangin. Kalau kata emaknya Alpi, "Pantas dia nggak punya teman. Nakal begitu."

Berhubung saya di sini ada di pihak netral dengan posisi belum menikah dan punya anak serta penikmat kartun juga. Honestly, kasihan si Alpi mah, di televisi nggak ada acara televisi kartun yang menghibur sekaligus mendidik kayak jaman kecil dulu. Kalau dulu ada The Power Puff Girls yang ceritanya ada 3 gadis cilik pemberani pembela kebenaran. Lalu ada Astroboy, pahlawan kebaikan. Terus ada Sailormoon yang tema ceritanya hampir mirip tentang pembela kebenaran. Sedangkan sekarang? Minim film kartun yang mendidik. Dan jalan ceritanya nggak jelas.
Tapi di lain sisi, kalau si bapak Alpi bisa melihat dari sisi positifnya sedikit aja, Masha and The Bear juga ada pelajarannya loh, Pak!
Pertama, mengajarkan anak untuk berani menghadapi sesuatu dan tampil percaya diri di depan umum.
Kedua, rasa keingintahuannya yang besar membuat dia berani mencoba sesuatu meski pada akhirnya itu kurang tepat. Tapi yang terpenting keberanian untuk mencoba dan nggak takut salah.
Dan ketiga, Masha itu setia kawan. Setia kawan berteman dengan beruang. *Atau karena dia nggak punya teman karena bandel?"

Oh bapak Alpi dan orangtua di luar sana, saya hanya ingin berujar, "Usia-usia anak seumuran Alpi, dua tahun lebih gitu biasanya sedang aktif-aktifnya bergerak kesana kemari dan rasa penasarannya besar akan sesuatu yang ada di sekitarnya serta cenderung semakin dilarang -jangan!- -nggak boleh!- apalagi sampai mimik wajah kita berubah marah atau khawatir, dia semakin nekat melakukan hal yang dilarang tersebut. Bahkan dia melakukannya tanpa sepengetahuan orangtuanya."

** ps : gegara sering merhatiin tingkah polah si Alpi tiap main ke kontrakan nih. Dia sukanya mainin tombol on off nya kipas angin gitu. Kalau ketahuan sama emaknya, dia dimarahin dan kadang dipukul tangannya karena dibilangin bandel. Eh bukannya malah bikin dia jera. Tapi malah menjadi-jadi bahkan saat si emaknya lagi tak bersamanya. Duh duh.
Pernah juga, saking aktifnya si Alpi naik-naik motor. Dan saking paniknya saya takut dia tertimpa itu motor. Mimik wajah saya berubah khawatir luar biasa. Eh malah dia ketawa-ketiwi sambil berucap, "Siappp, bos!" aaaaack, bener-bener gemes sama nih bocah.*

*Yah lumayan, berkat tetanggaan sama sepasang suami istri yang beranakkan satu bisa buat belajar jadi ibu yang bijak kokokoko*

Jumat, 07 November 2014

Pintu yang Telah Terbuka dan Kini Tertutup Kembali

Aku tak tahu harus mulai dari mana bercerita semua denganmu. Aku tahu kamu selalu menungguku untuk bercerita. Tapi, maaf, aku belum bisa membukanya. Entah karena aku terlalu lelah dengan perjalanan ini ataupun karena aku enggan untuk membuka pintuku kembali. Ada rasa yang masih membekas tentang sebuah arti -harapan- yang berujung -ditinggalkan-.
Mungkin aku belum sekuat kalian yang dengan cepatnya -bergerak keluar- dari sebuah ruang yang disebut -harapan- meskipun aku sadar, harapan itu sudah tak ada lagi. Harapan itu sudah hilang terbawa api yang membakar semua kenangan.
Bergerak. Sudah saatnya masa-masa yang telah lalu harus ditinggalkan sesegera mungkin seperti halnya harapan itu yang meninggalkanku tanpa pamit. Ya!
Di suatu hari yang cerah, ketika mentari bersinar dengan keemasannya yang cantik. Kamu sedang duduk seorang diri di tepi bangku kayu sembari menikmati pagi cerah yang menyapa diri sambil sesekali berbicara pada diri, bila pada saatnya nanti akan datang seseorang, si hati akan membukakan pintu. Sebuah ucapan adalah doa makbul. Begitu pun pagi itu. Aku berujar pada hati dan mencoba membuat janji dengannya. Ketika matahari mulai redup cahayanya dan rumah lah tempat kembali paling nyaman. Tiba-tiba saja ada suara di ujung pintu mengetuk dinding dengan lembut. Aku terperangah kaget. Sontak aku menjadi salah tingkah, antara senang dan tak percaya. Seperti suratku mendapat balasan dari langit. Baru tadi pagi aku panjatkan sebuah ucapan yang ku kirim untuk langit. Dan di senja hari ia datang. Aku bergegas bangkit dari kursi goyangku. Mengintip sebentar dari balik lubang kecil di dinding pintu.
"Oh, dia. Untuk apa dia kemari?" tanyaku pada langit. Aku termangu cukup lama. Masih tak percaya lebih tepatnya.
"Boleh masuk?" dia meminta ijin untuk masuk.
Aku masih tergugu dalam lamunan.
"Mungkin ini pertanda baik," ucapku pada langit sambil membuka pintu.
Dia adalah seseorang yang selama ini sering ku jumpai dalam keseharian. Begitupun dengannya. Kami hanya saling pandang dan sekedar tahu tapi tidak begitu mengenal pada dahulu kala. Bukan orang baru ataupun orang lama. Dia adalah orang lama yang disengajakan hadir oleh langit. Seperti hujan yang disengajakan turun ketika awan masih membiru. Cukup lama aku dan dia terpaku diam. Hanya dentingan jam dinding yang terdengar mengiringi kami.
"Silakan masuk." tiba-tiba saja dua kata itu keluar dari bibirku. Seperti sebuah keyakinan yang pada awalnya ada rasa tak percaya menjadi rasa yakin pada sebuah pembukaan. Ya. Aku sedang mencoba membuka pintu.
"Terimakasih." ucapnya sambil memposisikan duduknya di seberang kursiku.
Dalam ruangan kotak itu kami saling diam dan malu. Ada rasa canggung menyeruak. Hingga dia pun mulai membuka bibirnya sembari berujar semua tentang mimpi dan cita-citanya. Aku terdiam ternganga akan semua ujarnya. "Harus secepat itukah kita bertukar buku?" tanyaku pada sampul buku yang masih baru itu dan tak ku temukan jawabnya. Namun seketika itu juga aku pun terseret perlahan ke dalam pusaran pertukaran. Dan aku mulai membuka lembar demi lembar buku mimpiku. Seperti seorang teman lama yang dipertemukan kembali lalu saling bercerita, tentang waktu yang hilang dan seharusnya dihabiskan bersama. Aku dan dia menjadi dekat.
Hari pun berganti bulan, hingga pada satu titik aku dan dia bagai benang layang-layang yang patah terkena arus listrik bertegangan tinggi. Prang! Terbagi dan tercerai berai. Aku masih tak percaya. Aku terduduk lesu. Menyalahkan langit yang dengan cepatnya mengamini ucapanku.
Banyak tanda tanya yang kemudian hadir mengiringi pertanyaan, "Kenapa? Mengapa? Adakah yg keliru?" tak henti-hentinya aku bertanya pada langit.
Apakah karena alasan berbeda lantas layang-layang dengan sesuka hati memutuskan benang di tengah terik matahari? Meninggalkannya sendiri seperti tak pernah terjadi sebuah goresan. Goresan yang mampu memadamkan urat nadi. Goresan yang mungkin bagimu (hanya) bagaikan sebuah pensil yang dapat dihapus. Tidak, kamu salah. Dihapus mungkin akan kembali bersih. Tapi tidak dengan jejaknya. Ia akan selalu ada di sana. Seperti kaki-kaki kecil yang menapaki buliran pasir pantai. Meski tersapu ombak. Jejak kaki kecil itu pernah ada tergambar jelas di pasir itu. Tapi, sudahlah. Sudah cukup tau dengan semua ini. Mungkin aku telah keliru membiarkan kamu masuk ke dalam rumahku tanpa tahu apakah kamu -setulus- itu? Meski aku sadar, tulus itu hanya ada pada hatimu. Atau aku yang salah, menjadi manusia yang terlalu lugu untuk sebuah ketukan pintu? Ketukan pintu oleh orang lama yang jika kamu telisik ke belakang, dia tak cukup kamu tahu -siapa-. Ya! Semua sudah terlambat. Dia sudah memporak porandakan pintu itu dan kini telah pergi dengan pintu yang masih menganga.
Ada haru biru dalam deburan ombak. Aku hanya ingin berpesan padamu, "aku titipkan kunci ini padamu. Hingga pada saatnya nanti akan datang seseorang yang akan mengambil kunci itu. Dan ku pastikan tidak untuk saat ini. Biarkan pintu rumah itu tertutup rapat. Aku akan memperbaikinya, menata dan memasangnya kembali. Seorang diri."
Aku menghela nafas panjang dan sesaat kemudian hujan pun turun seolah merestui semua pintaku. Aku terpaku dalam kesyukuran yang luar biasa membukakan mata dan hati. Ada tanda baik yang terukir lewat pelangi yang semburat warnanya indah.
Terimakasih telah masuk ke dalam rumahku walau hanya beberapa detik. Terimakasih untuk pintu yang masih kamu biarkan terbuka. Yang entah karena rasa egomu yang terlalu besar atau memang kamu lupa untuk sekedar pamit. Baiklah, aku harus lebih berhati-hati untuk setiap kamu yang akan masuk ke dalam rumah. Ku pastikan kunci itu ada di tempat teraman sekarang.
Ketika kamu datang dengan permisi dan niat yang baik, lalu kamu mencoba membuka pintu dan dipersilakan masuk sembari mencicipi kudapan jajanan sambil bercengkrama, adakah yang salah dengan -berpamitan-? Tapi ini? Seperti debu yang tertiup angin. Perginya pun berbekas kelam dan semena-mena.
Begitulah pintuku yang awalnya terbuka dan kini tertutup kembali.

Terimakasih..

Jumat, 12 September 2014

Hei, Astroboy!

Sepanjang perjalanan kali ini menuju Samboja. Aku banyak berpikir dan merenung tentang satu hal. Kerinduan. Entah mengapa, aku merasakan jarak yang jauh terbentang antara aku dan kamu beserta kenangan kita bersama. Aku masih tak percaya, bahwa aku melarikan diri dari sebuah kenyataan yang belum berujung tentang arti pertemuan. Pertemuan yang sebenarnya sangat aku nanti namun di sisi lain amat sangat aku takuti. Bukan karena tak bernyali untuk bertemu melainkan takut akan terjadi sesuatu setelah pertemuan itu.
Kalau boleh jujur, pulang kampung kali ini amat sangat ku nanti. Selain karena akan bertemu keluarga dan sahabat tersayang.
Aku juga akan bertemu dengan kamu. Ya, itu kamu. Kamu kamu kamu. Yang hingga aku kembali ke tanah rantau, aku masih tak mengerti alasan apa yang membuatku melupakan semua tentang kamu. Sepertinya aku sudah mulai lelah dengan astroboy seperti kalian yang seenaknya mempermainkan dan tak jarang bersikap menjadikan blossom2 sebagai pilihan di dalam list kalian. Ish!

Terimakasih untuk sebuah pertemuan itu. Terimakasih Tuhan untuk selalu mengenalkan aku dengan berbagai macam astroboy yang membuatku tetap bertahan bahwa sendiri itu sungguh mengasyikan. Terimakasih astroboy2, aku bukan blossom yang bisa menjadi cadangan dikala kamu bosan atau diantara pilihan-pilihanmu. Karena blossom2 pun berhak memilih dan menolak.

Senin, 08 September 2014

Kampung Halaman itu Ibarat Pompa

Kampung halaman itu ibarat pompa. Pompa kekuataan dan kebahagiaan. Sudah hampir dua minggu aku berada kembali di tanah rantau, Kutai Kartanegara. Pertama rasanya agak asing, seperti memulai segala sesuatunya lagi dari awal. Semua suasana baru yang tadinya ramai di kampung halaman. Kini jam 7 malam sudah sepi. Lalu yang biasanya pergi menghadiri sebuah festival di tengah kota. Kini keluar pun jarang karena jarak antara desa dan kota tak singkat, dua jam. Tapi yasudah, setiap masing-masing daerah memiliki kelebihan dan kekurangan.
Yap, satu bulan berada di kampung halaman, Yogyakarta itu rasanya bahagia sekali. Kamu tahu ban motor? Ban motor itu jika terlalu lama dan keras menapaki jalan terjal berlubang pasti akan meleduk atau bocor. Seperti halnya ketika kita merantau ke suatu daerah hanya sendiri tanpa sanak keluarga yang dekat kecuali teman kerja yang sama-sama perantau. Dan ketika semua orang sudah sama-sama jenuh, penat dan capai dengan sebuah rutinitas pekerjaan, yang kamu bisa lakukan adalah pulang. Pulang ke pangkuan keluarga. Pulang dan secepatnya pulang ke kampung halaman. Dan aku telah melakukannya. Pulang kampung!
Tahukah kamu bahwa pulangku kali ini sangat membahagiakan dan hidup sekali. Aku merasa nyawa dan jiwaku kembali menjadi aku yang dulu. Aku bahagia sekali. Pulang ke rumah bertemu bapak, ibu, adik-adik, saudara dan sahabat-sahabat serta teman baru yang begitu mengasyikan. Aku senang rasanya. Kekuatanku bertambah. Mendapat wejangan hidup dari orang-orang terkasih yang begitu menguatkanku untuk kembali merantau lagi. Bahagiaku juga sempurna, bertemu, bercerita, dan bertukar pikiran dengan mereka.
Dan kini aku harus kembali lagi ke tanah rantau dengan aku yang baru. Aku yang jauh lebih kuat dan tegar dari sebelumnya. Aku yang berbeda dengan segala amunisi kekuatan dan kebahagiaan yang melimpah dari kampung halaman.

Ketika kamu berada di tanah rantau dan merasa jenuh, capai hati atau lelah dengan semua yang menjemukan maka pulanglah. Pulang ke kampung halaman dimana kamu berasal. Pulang ke pangkuan keluarga. Keluarga yang selalu ada untuk kita. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu menanti kepulangan kita. Dan kota yang di setiap sudut memiliki kenangan untuk kembali aku cumbu dan nikmati seperti dahulu. Aku selalu menanti waktu dimana aku pulang ke kampung halaman, Yogyakarta. Kota yang nyaman, tenang, dan damai. Kota yang membesarkanku dan merasuki hampir seluruh jiwaku dengan segala kenyamanan dan kebahagiaan yang ada.

Terimakasih Yogyakarta. Terimakasih semua. Ijinkan aku untuk selalu tetap pulang ke pangkuanmu. Tunggu aku :)

Minggu, 31 Agustus 2014

Pelajaran Berharga dari Pesawat

28 Agustus 014, hari dimana aku seharusnya terbang kembali ke tanah rantau. Ritual yang biasa dilakukan adalah berpamitan. Pamit ke teman-teman Pappermoon, sahabat-sahabat sudah. Bahkan ketika pamit kepada bapak ibuk sampai nangis segala hehe.
Sore itu berjalan dengan sedikit tergesa-gesa karena bapak begitu memburuku agar segera sampai di bandara. Maklum bapak itu tipe orang ontime. Apalagi urusan dengan menyangkut oranglain. Tapi syukurlah semuanya lancar dan tepat waktu berada di bandara. Sore itu aku tak terbang sendirian. Karena kebetulan salah seorang teman kerjaku meminta dibookingkan tiket, alhasil aku menunggunya di depan pintu chek in bandara. Sepuluh hingga dua puluh menit ia tak kunjung datang. Ku telpon dia sedang dalam perjalanan. -Ya ampun aku baru sadar bahwa rumahnya sangat jauh sekali dari bandara tapi kenapa dia tidak berangkat dua jam sebelumnya? Inhale exhale- Hingga 45 menit berlalu ia tetap tak kunjung datang. Oh my! Setelah tepat satu jam dan 15 menit sebelum keberangkatan ia baru datang. What the....! Kami pun bergegas masuk ke dalam antrian chek in dan segera ke loket Garuda. Sesampainya di sana semua tampak lenggang dan salah seorang petugas terlihat panik karena kami masih di luar. Dan pada saat itu, aku sudah menduga bahwa akan terjadi sesuatu yg kurang baik. PRANG! Ternyata benar dugaanku. Kami ketinggalan pesawat. Memohon kepada petugasnya pun tetap tak membuahkan hasil. Dengan kepasrahan ku datangi loket tiketing dan bertanya perihal kasus kami. Dan apa yang terjadi? Kami diminta membayar uang penggatian tiket dengan jam yang sama karena jika tidak begitu, tiket hangus. Tanpa pikir lama dan ini juga pengalaman pertama untukku ketinggalan pesawat akhirnya aku booking penerbangan keesokan hari, 29 Agustus 014. Dan setelah sadar dan dipikir-pikir, kami seperti membayar tiket baru. Dengan harga tiket awal 994800 dan harga tiket pengganti 1092000. Dan total dua juta lebih! Dan kabar gembiranya adalah itu semua menggunakan uang asli bukan terbuat dari daun sodara. Hik.
Jujur, rasanya ingin nangis meluk sesuatu dan teriak sekencang-kencangnya tapi teringat kalau aku sedang di bandara. Dan satu hal yang membuatku terheran-heran. Temanku itu sama sekali tidak mengucapkan kata maaf. Mungkin baginya itu tidak penting. Dan sepertinya ia menganggap remeh dari ketinggalan pesawat ini. Hello, ini semua penting bagiku. Mungkin kamu terbiasa hidup dengan materi yang berlebih. Tapi tolong, posisikan dirimu seperti posisi oranglain. Lagi dan lagi ilmu berkawan seperti empati harus dimiliki.
Aku hanya mencoba menenangkan diri. Coba tadi lebih mendengar nasehat bapak untuk segera masuk saja tanpa menunggu teman yang ternyata sikapnya membuat aku, cukup tau dan sekian terimakasih, itu. Tapi mau bagimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.
Sebuah kata maaf mungkin terdengar sepele baginya. Tapi tolong, kata maaf adalah magic word yang percaya nggak percaya, kata tersebut bisa meredamkan rasa sakit hati, mencairkan suasana dan kata yang bukan sekedar tanpa makna. Hingga aku pun berpikir, "oh, mungkin ilmu dia tentang magic word, -maaf-, tadi belum sampai jauh dan mendalam."

Banyaaaak sekali pelajaran yang dapat diambil dari ketinggalan pesawat kali ini.

Pertama, patuhi nasehat orangtua. Karena mereka orang yang mencintai kita tulus apa adanya. Tak terlepas dari itu, pengalaman orangtua jauh lebih luas daripada kita anaknya seperti hal pesawat ini. Dan percaya nggak percaya, perkataan orangtua itu selalu benar.

Kedua, bukan bermaksud egois atau tidak setia kawan. Namun pesawat berbeda dengan bus antar propinsi seperti Mira atau Eka yang datang berkali-kali dan kita bisa sesuka hati mau menunggu jam berapa pun. Maka dari itu, chek in lah terlebih dahulu. Baru setelah semua urusan selesai, baru keluar lagi pun tidak apa-apa.

Prinsip naik pesawat, kenali dulu teman sepesawat kita. Kalau sekiranya dia orang yang ontime dan tidak menyepelekan hal kecil. Tak ada salahnya kita tunggu tapi tetap dengan memerhatikan layar informasi penerbangan, ya.

Ketiga, berangkatlah dari rumah dua jam atau bahkan menginap sekalian di bandara jika memang lokasi tempat tinggal dengan bandara cukup jauh atau mengantisipasi hal teknis seperti macet dan mogok kendaraan. Ingatlah selalu, lebih baik kita yang menunggu pesawat berjam-jam daripada ditinggal terbang duluan. Ya kalik naik bus bisa nunggu bus selanjutnya :)

Keempat, carilah informasi sebanyak-banyaknya mengenai maskapai penerbangan yang menyediakan penerbangan malam terakhkir. Karena seperti kemarin, aku sempat browsing di situs tiket online utk mencari penerbangan lain dengan jam malam sudah tidak tersedia. Dan ternyata kata seorang teman di maskapai seperti Lion masih bisa melayani jam malam bahkan menyediakan tiket on the spot utk terbang saat itu juga (seperti kasusku).

Kelima, sediakan uang lebih untuk mengantisipasi membayar tiket baru yang harganya jauh lebih tinggi. Karena harga tiket pesawat itu semena-mena, fyuuh.

Keenam, selalu berpegang teguh pada prinsip, the magic word : PERMISI, MAAF, TOLONG, dan TERIMAKASIH. Dimanapun, kapanpun, dan dengan siapa pun.

Safe and happy flight, everybody! :)

Senin, 25 Agustus 2014

Hidup itu Mengisi Kita

Sepertinya aku terlalu berlebihan. Aku menangisimu. Menangisi kita. Menangisi kalian. Semua pecah. Tangisanku kali ini berbeda. Seperti mengisyaratkan bahwa kita harus berpisah. Perpisahan ini tak hanya sekedar sepuluh atau lima puluh kilo saja, tapi beratus-ratus kilo. Dan ini jauh! Jaraknya tak pendek! Tidak seperti jurusan Yogya Surabaya yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat. Hiks.
Aku tak sanggup membayangkan bahkan melakoninya ketika Kamis datang menghampiriku. Ketika aku harus kembali ke kenyataan hidup bahwa separuh jiwaku telah dinanti banyak orang di desa itu. Di desa tempatku bertumbuh, berkembang dan belajar selama hampir setahun di September nanti. Dilema.
Tuhan, mengapa kau harus memberiku hari-hari terakhir yang begitu membahagiakan ini? Hari-hari yang begitu menguatkanku dari begitu banyak kejadian yang sempat merapuhkanku selama sebulan aku berada di Yogyakarta. Dan hari-hari yang begitu aku rindukan selama sepuluh bulan terakhir. Kebersamaan. Kebersahajaan. Keceriaan dan ketulusan.
Tuhan, aku menangis lagi. Maafkan aku. Bukan maksud hati aku menjadi lemah. Tapi ini terlalu indah untuk ditinggalkan. Ya! Meskipun aku telah berjanji pada diriku bahwa aku pergi untuk kembali secepatnya. Tapi kotak ini begitu membahagiakan.

Kae kae kae kae..
Aku selalu tertawa ketika kalian bersendau gurau di grup itu. Grup yang untuk minggu depan hanya dapat aku baca sebagai tulisan bukan sebagai kenyataan sebuah pertemuan.
Terimakasih. I love you..

Selasa, 19 Agustus 2014

Antara kita dan semua

Entahlah. Rasanya aku ingin marah. Marah sekali! Kesal dan gemes sekali dengan sikap yg telah dilakukannya. Tapi apa dayaku. Toh marah nggak akan menyelesaikan semua tentang ini. Semua sudah menjadi bubur. Dan sudahlah. Sudah. Tapi mana sudahmu? Km masih menyimpan kedongkolan dan tidak legowo.
"Hei, aku sudah legowo!" ujarku pada ia.
"Legowo tidak seperti itu, hei, kamu!" bantah ia padaku.
"Lalu bagaimana? Aku kesal. Sebal. Gemes sekali," tuturku dengan menumpahkan segala asa hitam pada ia.
"Baiklah. Aku paham sekarang" kata ia dengan terus menguatkanku.
"Hmmm..." aku hanya mampu mendesah panjang sedikit lega.
"Mungkin kamu hanya kurang mengerti apa maksud yg telah dia lakukan padamu."
"Apa maksudmu?"
"Dia adalah salah satu sahabat terbaikmu. Dia begitu bahagia mengetahui km dekat dengan seseorang. That's all.."
Aku sedikit tersentak. "Lalu? Dia dengan sebegitu mudahnya pula mencampuri urusanku?"
Ia hanya tersenyum. "Bukan begitu. Dia hanya ingin memastikan bahwa seseorang itu memang benar-benar baik untukmu."
"Tapi bukan begitu caranya. Kabar selanjutnya setelah pertemuan pertama itu pun dia tak mengetahuinya. Bagaimana dia bisa berbicara panjang lebar pada oranglain?" kesalku tumpah tak terbendung.
"Iya. Aku paham. Mungkin cara dia sudah keliru. Apalagi sudah melibatkan pihak-pihak yang semestinya tak mengetahui."
"Lalu, semua sudah menjadi bubur. Berita-berita yang tak keluar dari mulutku sudah diketahui banyak pihak," aku mulai lelah dengan kesalku.
"Yasudah. Legowo, ya! Toh, kamu masih punya kesempatan untuk memilih diantara yang baik." ia mengingatkanku.
"Akan ku usahakan," kataku dengan sedikit legowo. Meskipun legowo itu tak semudah membalikkan telapak tangan dan legowo pun suatu proses hidup.
"Dan percayalah. Dia hanya ingin yang terbaik untukmu sebagai sahabatmu."
"Akan ku usahakan."
Aku masih tergugu dalam sebuah mimpi. Aku tak sampai hati jika menyebutnya mimpi buruk. Tapi sudahlah. Toh, semua menjadi pelajaran.

Dear you..
Mungkin aku menyebutnya salah paham. Karena hingga detik ini, aku masih buta dengan semua ini.
Terimakasih..

Kamis, 31 Juli 2014

Dear Kopi

Selalu aku ingin mengenalmu lebih dalam namun belum berhasil lagi. Apa salahku? Pffft. Pernah suatu malam, aku sedang mencari sesuatu untuk menjadi teman begadang. Akhirnya aku meracik kopi. Kopi sachet good day rasa mint sepertinya. Awalnya begitu nikmat hingga tenggorokan dengan komposisi seimbang. Satu botol tupperware dengan air full. Yah meskipun rasanya agak nggg nggg aneh karena rasa kopinya begitu encer seperti air. Setelah mendapat pencerahan dari seorang teman, rupanya komposisi kopi dan air itu 2:1, airnya air panas yg dituang ke dalam cangkir dan itu cukup sampai sebelum bibir cangkir agar aroma kopi dapat terasa. Bukan menggunakan botol tupperware yg segede gaban itu.
Setelah malam itu minum kopi botol tupperware, pagi pun tiba dan perut terasa mulas sekali. Morning call alias ngepup. Lega! Lalu aku pun kembali di depan laptop karna laporan belum selesai. Ketika sedang asyik-asyiknya, perut pun mulas kembali. Dan aku pun segera ngepup lagi. Kali ini lebih encer alias mencret (sorry). Ohmy! Setelah selesai yg kedua, aku pun kembali ke laporan lagi. Satu jam pertama aman. Dua jam selanjutnya aman. Lalu, krauuuuk! Perut pun mulas lagi. Aku pun nongkrong kembali di kamar mandi *tepok perut*. Dan tiga kali ngepup cair gegara kopi. U.u
Lalu malam ini terulang kembali. Karena seumur-umur belum pernah nyobain kopi jco, akhirnya aku pun mencobanya dengan menu jcapucino. Awalnya sih nikmat, kopinya terasa agak pahit dengan campuran vanilla dan cream dicampur es batu. Sempat mau pilih yg lain, sih, tp apa daya rasa ingin mengenal lebih dalam pun menyeruak. Kopi!
Sesampainya di rumah, rasa mulas menjangkiti. Arggghhh! Ngepup lagi. Dan parahnya, jantung saya berdebar kencang hingga detik ini. Ketika aku mengetik tulisan ini pun masih terasa kencang debarannya. "padahal kopinya ringan loh," kata seorang teman yg hobi sekali minum kopi. Tapi apa? Buktinya tidak semua orang kuat minum kopi. Hati ini terlalu rapuh untuk tersakiti #gagal fokus ahahaha.
Well, aku pun harus menerima kenyataan bahwa kopi tidak cocok denganku. Entah si kopi harus berkamuflase dengan cream atau coklat atau vanilla. Kopi tetaplah kopi seperti kesanku tentang kopi yg aromanya begitu kuat dan keras. Thankyou, kopi. Biarpun begitu, ijinkan aku berteman denganmu meskipun aku tak bisa memilikimu.

Sabtu, 15 Maret 2014

Kecilku

Teman-teman kecilku dulu, kini sudah tak kecil lagi.
Mereka sudah besar dan memiliki jalan masing-masing. Dan satu persatu dari mereka, telah melepas masa lajangnya lalu memutuskan untuk menikah muda.
Dapat dihitung jari diantara yang kecil dulu masih ada yang belum berumahtangga. Termasuk aku.
Biarpun begitu, aku tetap bahagia.
Bahagiaku selalu menyertai mereka teman-teman kecilku.
Meski kini kalian sudah besar dan berumahtangga. Tetap. Kalian adalah kecil-kecilku yang selalu mewarnai masa kecilku. Dan dulu ketika kecil kita bermain, mengaji, dan berinteraksi bersama dengan tingkah polah yang menjengkelkan, menggelikan dan membahagiakan, hingga kini, sekarang kita sedang merancang masa depan masing-masing dengan pilihan terbaik..

Love you : Mbak Luluk, Mbak Kiki, Icha, Harmini, Gagas, Linda, Lia, Nurina, Mas Anto, Mas Mamat, Mas Pinto, Mas Adi, Mas Wahyu, Hendrik, Mas Iwan, Mas Ridho, Fauzan.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...