Jumat, 07 November 2014

Pintu yang Telah Terbuka dan Kini Tertutup Kembali

Aku tak tahu harus mulai dari mana bercerita semua denganmu. Aku tahu kamu selalu menungguku untuk bercerita. Tapi, maaf, aku belum bisa membukanya. Entah karena aku terlalu lelah dengan perjalanan ini ataupun karena aku enggan untuk membuka pintuku kembali. Ada rasa yang masih membekas tentang sebuah arti -harapan- yang berujung -ditinggalkan-.
Mungkin aku belum sekuat kalian yang dengan cepatnya -bergerak keluar- dari sebuah ruang yang disebut -harapan- meskipun aku sadar, harapan itu sudah tak ada lagi. Harapan itu sudah hilang terbawa api yang membakar semua kenangan.
Bergerak. Sudah saatnya masa-masa yang telah lalu harus ditinggalkan sesegera mungkin seperti halnya harapan itu yang meninggalkanku tanpa pamit. Ya!
Di suatu hari yang cerah, ketika mentari bersinar dengan keemasannya yang cantik. Kamu sedang duduk seorang diri di tepi bangku kayu sembari menikmati pagi cerah yang menyapa diri sambil sesekali berbicara pada diri, bila pada saatnya nanti akan datang seseorang, si hati akan membukakan pintu. Sebuah ucapan adalah doa makbul. Begitu pun pagi itu. Aku berujar pada hati dan mencoba membuat janji dengannya. Ketika matahari mulai redup cahayanya dan rumah lah tempat kembali paling nyaman. Tiba-tiba saja ada suara di ujung pintu mengetuk dinding dengan lembut. Aku terperangah kaget. Sontak aku menjadi salah tingkah, antara senang dan tak percaya. Seperti suratku mendapat balasan dari langit. Baru tadi pagi aku panjatkan sebuah ucapan yang ku kirim untuk langit. Dan di senja hari ia datang. Aku bergegas bangkit dari kursi goyangku. Mengintip sebentar dari balik lubang kecil di dinding pintu.
"Oh, dia. Untuk apa dia kemari?" tanyaku pada langit. Aku termangu cukup lama. Masih tak percaya lebih tepatnya.
"Boleh masuk?" dia meminta ijin untuk masuk.
Aku masih tergugu dalam lamunan.
"Mungkin ini pertanda baik," ucapku pada langit sambil membuka pintu.
Dia adalah seseorang yang selama ini sering ku jumpai dalam keseharian. Begitupun dengannya. Kami hanya saling pandang dan sekedar tahu tapi tidak begitu mengenal pada dahulu kala. Bukan orang baru ataupun orang lama. Dia adalah orang lama yang disengajakan hadir oleh langit. Seperti hujan yang disengajakan turun ketika awan masih membiru. Cukup lama aku dan dia terpaku diam. Hanya dentingan jam dinding yang terdengar mengiringi kami.
"Silakan masuk." tiba-tiba saja dua kata itu keluar dari bibirku. Seperti sebuah keyakinan yang pada awalnya ada rasa tak percaya menjadi rasa yakin pada sebuah pembukaan. Ya. Aku sedang mencoba membuka pintu.
"Terimakasih." ucapnya sambil memposisikan duduknya di seberang kursiku.
Dalam ruangan kotak itu kami saling diam dan malu. Ada rasa canggung menyeruak. Hingga dia pun mulai membuka bibirnya sembari berujar semua tentang mimpi dan cita-citanya. Aku terdiam ternganga akan semua ujarnya. "Harus secepat itukah kita bertukar buku?" tanyaku pada sampul buku yang masih baru itu dan tak ku temukan jawabnya. Namun seketika itu juga aku pun terseret perlahan ke dalam pusaran pertukaran. Dan aku mulai membuka lembar demi lembar buku mimpiku. Seperti seorang teman lama yang dipertemukan kembali lalu saling bercerita, tentang waktu yang hilang dan seharusnya dihabiskan bersama. Aku dan dia menjadi dekat.
Hari pun berganti bulan, hingga pada satu titik aku dan dia bagai benang layang-layang yang patah terkena arus listrik bertegangan tinggi. Prang! Terbagi dan tercerai berai. Aku masih tak percaya. Aku terduduk lesu. Menyalahkan langit yang dengan cepatnya mengamini ucapanku.
Banyak tanda tanya yang kemudian hadir mengiringi pertanyaan, "Kenapa? Mengapa? Adakah yg keliru?" tak henti-hentinya aku bertanya pada langit.
Apakah karena alasan berbeda lantas layang-layang dengan sesuka hati memutuskan benang di tengah terik matahari? Meninggalkannya sendiri seperti tak pernah terjadi sebuah goresan. Goresan yang mampu memadamkan urat nadi. Goresan yang mungkin bagimu (hanya) bagaikan sebuah pensil yang dapat dihapus. Tidak, kamu salah. Dihapus mungkin akan kembali bersih. Tapi tidak dengan jejaknya. Ia akan selalu ada di sana. Seperti kaki-kaki kecil yang menapaki buliran pasir pantai. Meski tersapu ombak. Jejak kaki kecil itu pernah ada tergambar jelas di pasir itu. Tapi, sudahlah. Sudah cukup tau dengan semua ini. Mungkin aku telah keliru membiarkan kamu masuk ke dalam rumahku tanpa tahu apakah kamu -setulus- itu? Meski aku sadar, tulus itu hanya ada pada hatimu. Atau aku yang salah, menjadi manusia yang terlalu lugu untuk sebuah ketukan pintu? Ketukan pintu oleh orang lama yang jika kamu telisik ke belakang, dia tak cukup kamu tahu -siapa-. Ya! Semua sudah terlambat. Dia sudah memporak porandakan pintu itu dan kini telah pergi dengan pintu yang masih menganga.
Ada haru biru dalam deburan ombak. Aku hanya ingin berpesan padamu, "aku titipkan kunci ini padamu. Hingga pada saatnya nanti akan datang seseorang yang akan mengambil kunci itu. Dan ku pastikan tidak untuk saat ini. Biarkan pintu rumah itu tertutup rapat. Aku akan memperbaikinya, menata dan memasangnya kembali. Seorang diri."
Aku menghela nafas panjang dan sesaat kemudian hujan pun turun seolah merestui semua pintaku. Aku terpaku dalam kesyukuran yang luar biasa membukakan mata dan hati. Ada tanda baik yang terukir lewat pelangi yang semburat warnanya indah.
Terimakasih telah masuk ke dalam rumahku walau hanya beberapa detik. Terimakasih untuk pintu yang masih kamu biarkan terbuka. Yang entah karena rasa egomu yang terlalu besar atau memang kamu lupa untuk sekedar pamit. Baiklah, aku harus lebih berhati-hati untuk setiap kamu yang akan masuk ke dalam rumah. Ku pastikan kunci itu ada di tempat teraman sekarang.
Ketika kamu datang dengan permisi dan niat yang baik, lalu kamu mencoba membuka pintu dan dipersilakan masuk sembari mencicipi kudapan jajanan sambil bercengkrama, adakah yang salah dengan -berpamitan-? Tapi ini? Seperti debu yang tertiup angin. Perginya pun berbekas kelam dan semena-mena.
Begitulah pintuku yang awalnya terbuka dan kini tertutup kembali.

Terimakasih..

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...