Kamis, 22 Januari 2015

Kamisku di Persimpangan

"Ini Kamis, ya.." aku pandangi kalender duduk yg kudapat dari sebuah produk kecantikan di hadapanku.

"Lalu, kenapa?" tiba-tiba ia bangkit dan matanya terbelalak memandangku sinis.

"Entahlah." jawabku singkat sambil menunduk memainkan bolpoin.

"Loh, bagaimana sih?" si kalender meniupku kencang agar aku membalas memandangnya.

"Ya begitu." aku masih menunduk dengan wajah lesu.

"Kamu kenapa, hei gadis?" ia melembutkan suaranya dan berwajah manis.

"A.. akk.. akuu merasa bersalah." suaraku terbata-bata dan wajahku semakin tertunduk.

"Alasannya?" ia menjulurkan tangannya memeluk ku erat.

"Karena setiap aku memandangimu, disaat itulah hari terus berganti, tanggal semakin maju dan aku...." aku menumpahkan seluruh asa yang terpendam namun di satu titik aku terhenti.

"Lanjutkan, hei gadis.." ia menenangkanku sambil mengangkat wajahku untuk bangkit.

"Aku masih seperti ini saja. Tidak menjadi lebih baik dari tahun kemarin. Masih mending tahun kemarin. Tahun ini? Ya meskipun masih bulan Januari. Masih terhitung awal tahun. Tapi kenapa ya, rasanya berat dan i dont know what i have to do here. Aku seperti hilang. Ya hilang.." Ku tumpahkan semua padanya. Mataku berair, aku menangis pilu.

"Hmmm.." ia terus memandangku penuh kasih sayang. Dan mempersilakan ku menumpahkan semuanya.

"Dan kalau aku seperti ini terus, aku termasuk golongan yang merugikan? Karena tahun lalu sudah baik. Tapi kenapa di tahun kedua seperti ini? Buat apa aku jauh-jauh kemari hanya seperti ini." Tangisku pecah.

"Hey gadis, Tuhan mengirim kamu ke sini bukan untuk hal yang tidak bermakna. Tapi semua ini memiliki maksud dan pelajaran. Ya meskipun di tahun kedua ini kamu merasa kurang lebih baik dari tahun pertama. Tapi tenang, belum terlambat! Bersyukurlah karena masih diawal tahun, masih ada tujuh bulan bahkan 11 bulan kedepan yang harus kamu persiapkan." ia mengelus kepalaku penuh rasa sayang dan tersenyum sambil mengajak deretan angka-angka yang tertera di kalender tersenyum.

Tangisku terhenti dan senyumku mulai timbul.

"Kamu hanya terlalu khawatir dengan perasaan-perasaan tidak enakmu itu. Kamu sudah benar sampai sejauh ini, pun maksimal. Kamu memang sedang mengalami titik terendah dalam hidupmu. Persimpangan. Ini sebuah pilihan, kamu menyerah atau bangkit? Semua ada di tanganmu, gadis."

"Tapi, what should i do? Aku benar-benar hilang." aku kembali menangis.

"Kamu cukup menikmati dulu masa-masa seperti ini. Nikmati saja masa mu ini. Tapi ingat, jangan terlalu lama kamu bermuram durja dan terus menerus meratap. Jalanmu masih panjang di depan sana. Masih banyak orang-orang di sana yang menantimu." ia menasehatiku dengan penuh kesungguhan.

"Baiklah. Mungkin aku harus menikmati dulu sambil terus bergerak." kataku padanya dan sederet angka yang berjejer itu.

"Nah gitu! Kamu harus semangat dan semangat selalu! Nggak boleh sedih! Kamu masih punya mereka yang selalu mendukung dan selalu ada." ucapnya sambil menunjuk berderet foto yang tersusun di wallpaper laptop.

"Insya Allah. Bismillah. I can face it." senyumku terkembang dan deretan-deretan angka itu ikut bahagia juga sembari menarik lenganku masuk ke dunia mereka, seolah mengabarkan padaku bahwa mereka memiliki banyak kejutan indah di 343 hari yang tersisa dalam hidupku dengan catatan teruslah bergerak, berusaha dan berdoa. Amin..

Good afternoon ❤

❤ Thankyou kalender for the reminder this day ☀

Kamis, 08 Januari 2015

Bah! Bah! Banggg

Sudah tiga orang yang komplen ketika aku berbicara menggunakan kata -bah- kepada mereka. Hehehe. Kesemuannya itu teman yang berasal dari Pulau Jawa yang notabene tidak terbiasa mendengar aku menggunakan kata -bah-.
Beberapa dari mereka ada yang komplen, "bah beh bah beh. Di Kaltim pakainya -kah- bukan -bah-." Lha yang mengalami siapa, sini atau situ? Haha. -kah- iya dan -bah- juga iya.
Pun ada yang komplen dikira manggil dia simbah, "bah atau mbah?"
Selain itu ada pula yang komplennya bawa-bawa daerah, "Kayak orang Sumatra aja pake bah."
.
Sebenarnya aku juga bingung, ya. Semenjak 17 bulan di sini di Kalimantan Timur. Ku rasakan diksi ketika berbicara menjadi lain dan semacam lucu. Maklum lah yaa, makanan baru gitu. Ya kayak, -bah-, itu salah satunya *yang lainnya nyusul*.
Pada awalnya, -bah- itu kupikir milik orang Medan aja. Horas, bah!
Eh ternyata orang Tarakan, Kalimantan Utara kalo berbicara sehari-hari pada pake akhiran atau sisipan -bah-.
Ya lumayan kaget pas November lalu ke Tarakan. Ya temen, ya anak-anak ngomongnya pake, -bah-. Misalnya nih ya, "Pinjem bonekanya bah ai." atau "Enggak gitu bah, say" dan logatnya itu lucu, meliuk-liuk dari rendah ke tinggi terus datar. Hihihi (silakan dipraktekkan sendiri ya).
Dan you know what, mereka yang kutemui itu kebanyakan orang Sulawesi Selatan dan bukan orang asli atau keturunan Sumatra bah.
Padahal kalau dilihat dari letak geografisnya nih ya, Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra itu jauh. Ibarat kalau naik pesawat transitnya ke Jakarta dulu baru ke tkp. Apalagi dari Pulau Sulawesi. Jauh bingips!
.
Tapi ya apapun itu pada intinya,
"Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung bah say." Eh..

Good nite ❤��

Senin, 05 Januari 2015

Fast and faster

Tahun 2015 sudah berjalan lima hari. Dan aku merasakan kecepatan hari yang berjalan begitu fast and faster. Yang pasti di tahun ini harus lebih baik, lebih dewasa, lebih bijaksana dan lebih kurus lebih sehat dari tahun kemarin serta dipertemukan dengan jodoh ahehehe amiin..

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...