Minggu, 31 Agustus 2014

Pelajaran Berharga dari Pesawat

28 Agustus 014, hari dimana aku seharusnya terbang kembali ke tanah rantau. Ritual yang biasa dilakukan adalah berpamitan. Pamit ke teman-teman Pappermoon, sahabat-sahabat sudah. Bahkan ketika pamit kepada bapak ibuk sampai nangis segala hehe.
Sore itu berjalan dengan sedikit tergesa-gesa karena bapak begitu memburuku agar segera sampai di bandara. Maklum bapak itu tipe orang ontime. Apalagi urusan dengan menyangkut oranglain. Tapi syukurlah semuanya lancar dan tepat waktu berada di bandara. Sore itu aku tak terbang sendirian. Karena kebetulan salah seorang teman kerjaku meminta dibookingkan tiket, alhasil aku menunggunya di depan pintu chek in bandara. Sepuluh hingga dua puluh menit ia tak kunjung datang. Ku telpon dia sedang dalam perjalanan. -Ya ampun aku baru sadar bahwa rumahnya sangat jauh sekali dari bandara tapi kenapa dia tidak berangkat dua jam sebelumnya? Inhale exhale- Hingga 45 menit berlalu ia tetap tak kunjung datang. Oh my! Setelah tepat satu jam dan 15 menit sebelum keberangkatan ia baru datang. What the....! Kami pun bergegas masuk ke dalam antrian chek in dan segera ke loket Garuda. Sesampainya di sana semua tampak lenggang dan salah seorang petugas terlihat panik karena kami masih di luar. Dan pada saat itu, aku sudah menduga bahwa akan terjadi sesuatu yg kurang baik. PRANG! Ternyata benar dugaanku. Kami ketinggalan pesawat. Memohon kepada petugasnya pun tetap tak membuahkan hasil. Dengan kepasrahan ku datangi loket tiketing dan bertanya perihal kasus kami. Dan apa yang terjadi? Kami diminta membayar uang penggatian tiket dengan jam yang sama karena jika tidak begitu, tiket hangus. Tanpa pikir lama dan ini juga pengalaman pertama untukku ketinggalan pesawat akhirnya aku booking penerbangan keesokan hari, 29 Agustus 014. Dan setelah sadar dan dipikir-pikir, kami seperti membayar tiket baru. Dengan harga tiket awal 994800 dan harga tiket pengganti 1092000. Dan total dua juta lebih! Dan kabar gembiranya adalah itu semua menggunakan uang asli bukan terbuat dari daun sodara. Hik.
Jujur, rasanya ingin nangis meluk sesuatu dan teriak sekencang-kencangnya tapi teringat kalau aku sedang di bandara. Dan satu hal yang membuatku terheran-heran. Temanku itu sama sekali tidak mengucapkan kata maaf. Mungkin baginya itu tidak penting. Dan sepertinya ia menganggap remeh dari ketinggalan pesawat ini. Hello, ini semua penting bagiku. Mungkin kamu terbiasa hidup dengan materi yang berlebih. Tapi tolong, posisikan dirimu seperti posisi oranglain. Lagi dan lagi ilmu berkawan seperti empati harus dimiliki.
Aku hanya mencoba menenangkan diri. Coba tadi lebih mendengar nasehat bapak untuk segera masuk saja tanpa menunggu teman yang ternyata sikapnya membuat aku, cukup tau dan sekian terimakasih, itu. Tapi mau bagimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.
Sebuah kata maaf mungkin terdengar sepele baginya. Tapi tolong, kata maaf adalah magic word yang percaya nggak percaya, kata tersebut bisa meredamkan rasa sakit hati, mencairkan suasana dan kata yang bukan sekedar tanpa makna. Hingga aku pun berpikir, "oh, mungkin ilmu dia tentang magic word, -maaf-, tadi belum sampai jauh dan mendalam."

Banyaaaak sekali pelajaran yang dapat diambil dari ketinggalan pesawat kali ini.

Pertama, patuhi nasehat orangtua. Karena mereka orang yang mencintai kita tulus apa adanya. Tak terlepas dari itu, pengalaman orangtua jauh lebih luas daripada kita anaknya seperti hal pesawat ini. Dan percaya nggak percaya, perkataan orangtua itu selalu benar.

Kedua, bukan bermaksud egois atau tidak setia kawan. Namun pesawat berbeda dengan bus antar propinsi seperti Mira atau Eka yang datang berkali-kali dan kita bisa sesuka hati mau menunggu jam berapa pun. Maka dari itu, chek in lah terlebih dahulu. Baru setelah semua urusan selesai, baru keluar lagi pun tidak apa-apa.

Prinsip naik pesawat, kenali dulu teman sepesawat kita. Kalau sekiranya dia orang yang ontime dan tidak menyepelekan hal kecil. Tak ada salahnya kita tunggu tapi tetap dengan memerhatikan layar informasi penerbangan, ya.

Ketiga, berangkatlah dari rumah dua jam atau bahkan menginap sekalian di bandara jika memang lokasi tempat tinggal dengan bandara cukup jauh atau mengantisipasi hal teknis seperti macet dan mogok kendaraan. Ingatlah selalu, lebih baik kita yang menunggu pesawat berjam-jam daripada ditinggal terbang duluan. Ya kalik naik bus bisa nunggu bus selanjutnya :)

Keempat, carilah informasi sebanyak-banyaknya mengenai maskapai penerbangan yang menyediakan penerbangan malam terakhkir. Karena seperti kemarin, aku sempat browsing di situs tiket online utk mencari penerbangan lain dengan jam malam sudah tidak tersedia. Dan ternyata kata seorang teman di maskapai seperti Lion masih bisa melayani jam malam bahkan menyediakan tiket on the spot utk terbang saat itu juga (seperti kasusku).

Kelima, sediakan uang lebih untuk mengantisipasi membayar tiket baru yang harganya jauh lebih tinggi. Karena harga tiket pesawat itu semena-mena, fyuuh.

Keenam, selalu berpegang teguh pada prinsip, the magic word : PERMISI, MAAF, TOLONG, dan TERIMAKASIH. Dimanapun, kapanpun, dan dengan siapa pun.

Safe and happy flight, everybody! :)

Senin, 25 Agustus 2014

Hidup itu Mengisi Kita

Sepertinya aku terlalu berlebihan. Aku menangisimu. Menangisi kita. Menangisi kalian. Semua pecah. Tangisanku kali ini berbeda. Seperti mengisyaratkan bahwa kita harus berpisah. Perpisahan ini tak hanya sekedar sepuluh atau lima puluh kilo saja, tapi beratus-ratus kilo. Dan ini jauh! Jaraknya tak pendek! Tidak seperti jurusan Yogya Surabaya yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat. Hiks.
Aku tak sanggup membayangkan bahkan melakoninya ketika Kamis datang menghampiriku. Ketika aku harus kembali ke kenyataan hidup bahwa separuh jiwaku telah dinanti banyak orang di desa itu. Di desa tempatku bertumbuh, berkembang dan belajar selama hampir setahun di September nanti. Dilema.
Tuhan, mengapa kau harus memberiku hari-hari terakhir yang begitu membahagiakan ini? Hari-hari yang begitu menguatkanku dari begitu banyak kejadian yang sempat merapuhkanku selama sebulan aku berada di Yogyakarta. Dan hari-hari yang begitu aku rindukan selama sepuluh bulan terakhir. Kebersamaan. Kebersahajaan. Keceriaan dan ketulusan.
Tuhan, aku menangis lagi. Maafkan aku. Bukan maksud hati aku menjadi lemah. Tapi ini terlalu indah untuk ditinggalkan. Ya! Meskipun aku telah berjanji pada diriku bahwa aku pergi untuk kembali secepatnya. Tapi kotak ini begitu membahagiakan.

Kae kae kae kae..
Aku selalu tertawa ketika kalian bersendau gurau di grup itu. Grup yang untuk minggu depan hanya dapat aku baca sebagai tulisan bukan sebagai kenyataan sebuah pertemuan.
Terimakasih. I love you..

Selasa, 19 Agustus 2014

Antara kita dan semua

Entahlah. Rasanya aku ingin marah. Marah sekali! Kesal dan gemes sekali dengan sikap yg telah dilakukannya. Tapi apa dayaku. Toh marah nggak akan menyelesaikan semua tentang ini. Semua sudah menjadi bubur. Dan sudahlah. Sudah. Tapi mana sudahmu? Km masih menyimpan kedongkolan dan tidak legowo.
"Hei, aku sudah legowo!" ujarku pada ia.
"Legowo tidak seperti itu, hei, kamu!" bantah ia padaku.
"Lalu bagaimana? Aku kesal. Sebal. Gemes sekali," tuturku dengan menumpahkan segala asa hitam pada ia.
"Baiklah. Aku paham sekarang" kata ia dengan terus menguatkanku.
"Hmmm..." aku hanya mampu mendesah panjang sedikit lega.
"Mungkin kamu hanya kurang mengerti apa maksud yg telah dia lakukan padamu."
"Apa maksudmu?"
"Dia adalah salah satu sahabat terbaikmu. Dia begitu bahagia mengetahui km dekat dengan seseorang. That's all.."
Aku sedikit tersentak. "Lalu? Dia dengan sebegitu mudahnya pula mencampuri urusanku?"
Ia hanya tersenyum. "Bukan begitu. Dia hanya ingin memastikan bahwa seseorang itu memang benar-benar baik untukmu."
"Tapi bukan begitu caranya. Kabar selanjutnya setelah pertemuan pertama itu pun dia tak mengetahuinya. Bagaimana dia bisa berbicara panjang lebar pada oranglain?" kesalku tumpah tak terbendung.
"Iya. Aku paham. Mungkin cara dia sudah keliru. Apalagi sudah melibatkan pihak-pihak yang semestinya tak mengetahui."
"Lalu, semua sudah menjadi bubur. Berita-berita yang tak keluar dari mulutku sudah diketahui banyak pihak," aku mulai lelah dengan kesalku.
"Yasudah. Legowo, ya! Toh, kamu masih punya kesempatan untuk memilih diantara yang baik." ia mengingatkanku.
"Akan ku usahakan," kataku dengan sedikit legowo. Meskipun legowo itu tak semudah membalikkan telapak tangan dan legowo pun suatu proses hidup.
"Dan percayalah. Dia hanya ingin yang terbaik untukmu sebagai sahabatmu."
"Akan ku usahakan."
Aku masih tergugu dalam sebuah mimpi. Aku tak sampai hati jika menyebutnya mimpi buruk. Tapi sudahlah. Toh, semua menjadi pelajaran.

Dear you..
Mungkin aku menyebutnya salah paham. Karena hingga detik ini, aku masih buta dengan semua ini.
Terimakasih..

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...