Sabtu, 21 Mei 2011

“nduk, mbok kamu cari pacar sana.” (hihihihi :D)

22 November 2010
Di suatu sore yang cerah ditemani langit biru bertabur awan putih, aku bersiap-siap untuk mencuci baju yang sudah menumpuk menyerupai gunung merbabu ini di keranjang baju kotorku. Memang sengaja hari Sabtu adalah jadwalku untuk mencuci baju karena Sabtu adalah malam minggu (Haha! Padahal juga nggak ngaruh sih sebenernya. Sapa juga yang mau kencan. Nobody. Hehehe) maka dari itulah, untuk menyibukkan diri daripada kesepian lebih baik berkucek-kucek ria. Ku keluarkan semua baju kotor itu (Lumayan banyak ternyata, hihi), lalu kupindahkan ke dalam ember yang berisi air untuk membasahinya, setelah semua elemen baju itu basah, kupindahkan mereka semua ke dalam ember yang berisi sabun cuci yang sudah berbusa. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik sebaiknya direndam dulu selama 30 menit, begitulah pesan dari sabun cuci yang kupakai. Yayaya. Masuk akal juga kok. Hehe.
Setelah 30 menit kemudian baju tersebut direndam, aku sudah siap bertempur melawan kotoran-kotoran  membandel  yang menempel di pakaianku (Haha, lebay kayak mau perang aja ;p). Semua peralatan pun sudah siap (pistol, tombak, pisau. Loh? Mau perang atau nyuci?), dimulailah acara kucek mengkucek di siang bolong itu. Satu persatu baju ku kucek dengan sekuat tenaga agar kotoran lekas pergi dari pakaianku.
Ketika aku telah menyelesaikan 5 buah baju. Tiba-tiba suara Ibu dari luar kamar mandi mengagetkanku. “nduk, mbok kamu cari pacar sana.”
Glodak! Jderrrr! “hahahahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak hingga gulung-gulung mendengar Ibu berkata seperti itu. Lalu kujawab, “aku nggak mau punya pacar kok. Maunya langsung suami.” Sambil terkikik geli menahan ketawa.
“lha iya nduk, cari pacar yang serius buat suami nanti.” Tegas Ibu sambil mencuci bayam yang akan dimasak.
Aku berpikir dan diam sejenak. “emang kenapa tho, buk, kok aku disuruh cari pacar?” tanyaku heran dan kuhentikan sejenak acara cuci mencuci siang itu.
“ya gak papa. Biar kamu jadi dewasa.” Begitu jawaban ibu sambil berlalu ke dapur.
“emang kalo udah punya pacar jadi dewasa gitu ya?” aku benar-benar tak mengerti dengan jawaban Ibu. Emang iya ya kalo udah punya pacar terus jadi dewasa? Hmm. Umurku sekarang sudah 21 tahun. Dan selama 21 tahun itu aku belum pernah sama sekali yang namanya pacaran. Dijemput laki-laki ke rumah buat jalan-jalan pun belum pernah. Laki-laki main ke rumah pun belum pernah ada. Apa itu yang namanya kekhawatiran orang tua terhadap anak gadisnya yang selalu sendiri tanpa yang namanya pacar? Sepertinya begitu, karena asal kalian tahu, pernyataan yang keluar dari mulut Ibuku itu bukan untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, namun udah kesekian kalinya hingga aku lupa untuk menghitungnya.
Beberapa menit kemudian. Ibu kembali membuka percakapan. “ya secara gak langsung kamu jadi dewasa dalam bertindak dan bersikap.” Ucap Ibu sambil tersenyum.
Suara gemercik air yang mengalir dari kran menemani obrolan kami siang itu antara seorang gadis dengan Ibunya. Burung perkutut dalam sangkar pun ikut berceloteh dengan riangnya. Mungkin dia ingin nimbrung juga dengan obrolan kami yang seru itu.
“gak segampang itu Buk cari pacar.” Jawabku serius. Aku tak tahu pasti, kenapa sampai sekarang aku masih betah sendiri tanpa seorang kekasih, sedangkan teman-temanku kebanyakan sudah pada punya pacar atau minimal gebetan lah. Hmm. Apa aku sudah terlalu menikmati kesendirianku dengan ditemani sahabat-sahabat yang baik dan perhatian padaku? Atau aku terlalu pemilih sehingga setiap ada laki-laki yang mendekat selalu ku jauhi dan ku patok dengan tipe harus sempurna? Hmm. Enggak juga sih. Dari pepatah yang pernah kubaca dari sebuah buku motivasi menyatakan bahwa ‘justru karena tak sempurna itu maka kita menjadikannya menjadi sempurna dengan kelebihan dan kekurangannya’.
Terkadang aku juga ngerasa takut untuk melepas kesendirianku ini bersama laki-laki sebut saja pacar  itu. Nanti kebahagiaanku akan terkekang. Kebebasanku akan berkurang bahkan tak ada dan aku sangat tak rela jika sudah terlanjur pacaran dengan seseorang eh ternyata di tengah jalan harus putus karena alasan klise seperti ‘kita udah gak cocok lagi’, ‘aku gak sempurna buat kamu’, ‘kita beda pandangan’, atau ‘orangtua tak merestui hubungan kita’, dan bla bla bla banyak sekali alasan itu. Ketakutan-ketakutan itu terkadang muncul ketika ada seorang laki-laki yang berusaha mencuri hatiku.
Hingga pernah suatu hari aku merasa sangat kesal sekali dengan mantan pacar temanku. Hanya gara-gara tak direstui oleh orangtuanya, temanku itu diputuskan begitu saja. Kenapa tak ada usaha untuk mempertahankan hubungan mereka dan membicarakannya baik-baik dengan orangtua? Kenapa harus menyerah? Mereka putus pun dengan cara aneh. Apa itu yang namanya cinta? Melepaskannya begitu saja.
“haaaahh” aku menghela nafas panjang. Dan seketika itu juga lamunanku buyar karena Ibu menepuk pundakku.
“cobalah buka sedikit hatimu. Kalo ada laki-laki yang ngedeketin kamu jangan takut. Kalian kan bisa berteman dulu. Penjajakan lah istilahnya. Gak harus langsung pacaran kan?” Ucap Ibu sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Memang benar kata Ibuku itu, aku terlalu takut sekali dan kadang tak merespon bila ada laki-laki yang mendekatiku. Membangun benteng pertahanan, itulah istilah yang selalu kugunakan jika ada seorang laki-laki yang berusaha mendekat. Dan bila ada laki-laki yang mencoba mendekat, lalu kupasang wajah jutek, dia langsung kabur ngacir, haha! Yes berhasil! ;p. Tak tau kenapa, sulit sekali rasanya untuk membuka hati seperti lagunya Armada “buka hatimu. Bukalah sedikit untukku. Sehingga diriku bisa memilikimu”.
Hmm.. Aku tak ingin salah dalam memilih seorang laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupku dan imam dalam keluarga yang akan dibangun kelak suatu hari nanti. Karena aku sudah berprinsip, pacar pertama akan menjadi pacar terakhir dalam hidupku alias suamiku kelak. Maka dari itu, aku tak ingin main-main dalam memutuskan pilihan yang cukup sulit ini. Aku juga sadar dan tak dapat dipungkiri pula bahwa di dunia ini gak ada yang namanya manusia sempurna. Pasti ada kekurangan yang dimiliki dan kelebihan yang melengkapinya. Benar-benar aku belum sanggup untuk membuka hatiku untuk saat ini. Seluruh hatiku hanya untuk skripsiku tercinta dulu.
Pernah suatu ketika terbersit dipikiranku bahwa aku belum pantas dan layak untuk menjadi seorang istri dari laki-laki yang baik. Mengapa? Karena aku masih jauh dari yang namanya ‘baik’. Terkadang masih labil, kekanak-kanakan, tak dewasa, dan masih banyak lagi kekuranganku itu. Jika pikiran itu muncul, sesegera mungkin aku tepis karena aku selalu berpikir “masih ada waktu untuk bisa belajar menjadi lebih baik, instropeksi dan memperbaiki diri serta mempersiapkan lahir dan batin untuk menjadi istri yang sholehah.” Semoga seiring berjalannya waktu, aku bisa membuka pintu hatiku (ahihihihii.. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Waiting for your comment, guys! Thankyou so much :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...