Di siang hari yang
terik ini. Aku duduk di belakang meja panjang sembari bersantai sambil
menjajakan daganganku di depan sebuah sekolah dasar negeri. Sekolah dasar yang konon
katanya biaya pendidikan di tiap bulannya gratis tanpa dipungut biaya sepeser
pun kecuali untuk biaya membeli LKS (lembar kerja siswa).
Well,
ketika aku sedang mengecek daganganku, tiba-tiba bangku kosong di sebelahku diduduki
seorang bapak-bapak setengah baya yang biasa menjemput anak gadisnya pulang
dari sekolah tersebut.
Sekilas ku pandang, kuperhatikan,
dia tampak biasa dengan dandanan yang apa adanya itu. Celana pendek selutut,
kaos santai dan sepuntung rokok di tangannya. Dengan sepeda bututnya itu,
sehari-hari ia gunakan untuk bekerja, bepergian maupun menjemput anaknya ini.
Sudah kesekian kalinya, si bapak ini selalu menunggu anak bungsunya di warung
milikku sambil berbincang ringan dengan topik yang selalu berbeda.
Beberapa menit kami
terdiam dalam keramaian. Karena aku tidak betah dengan keadaan ini. Akhirnya ku
mulai percakapan singkat dengan si bapak itu.
Aku : “Dereng medhal nggih, Pak, putrinipun?”
(Belum keluar ya pak putrinya?)
Si bapak :
“Dereng mbak. Kadang ki mboten pas lhe
methu mbak. Jadwale jam kaleh welas tapi lhe metu setengah setunggal.”
(Belum
mbak. Kadang itu tidak pas keluarnya mbak. Jadwalnya jam 12 tapi yang keluar
jam setengah satu)
Kami
terutama aku, biasanya berbincang dengan bahasa yang campur aduk. Terkadang
menggunakan bahasa Indonesia ataupun jawa campuran (krama dan ngoko). Dan kalau
si bapak sudah menggunakan bahasa jawa halus. Aku pun kelimpungan untuk
menyusun tata bahasa jawa halus pula. Dan akhirnya malah jadi campuran. Tapi,
itu tidak masalah, yang terpenting komunikasi kami berjalan lancar.
Baiklah,
percakapan kami pun berlanjut dengan obrolan yang beraneka ragam. Hingga si
bapak mencurahkan isi hatinya.
Si bapak :
“Wah, mbak, wingi kulo kaleh lare kulo
ten toko hape mriko. Monjali mengidul. Mbok getun tenan mbak. Wes panas-panas, adoh, ora enthok opo-opo,”
ucap si bapak bercerita dengan wajah yang begitu gelo dan nampak terlihat guratan keriput di wajahnya yang ikut
mempertegas kalau dia begitu menyesal dan kesal.
(wah mbak, kemarin saya dan anak saya
pergi ke toko hape. Monjali ke selatan. Jengkel sekali mbak)
Aku : “Lha pripun tho pak?” aku pun antusias untuk menyimak segala
kekesalan si bapak itu.
(Lha bagaimana pak?)
Si bapak :
“Kulo kan numbaske hape anak kula ten
kidul monjali niku 5 bulan lalu. Lha wingi arep kulo tukar tambah kalih hape
sing niku lho mbak, sing layare gedhe niku. Eh, lha kok tekan nggone hapene
anak kulo malah ditawar murah banget. Padahal kulo tumbase nggih ten mriko.
Jarene bakule hape anak kulo rusak suarane. Kon nyervis simek. Yowes mbak, ra
sidho tak tukar tambah. Mending nggo tuku anyar. Tapi mbok getun tenan mbak.
Wes adoh. Panas. Lhe ngepit niku lho mbak,” cerita si bapak menggebu-nggebu
seraya menumpahkan segala kekesalannya atas apa yang terjadi pada dirinya.
(saya
kan membelikan hape anak saya di selatan monjali itu 5 bulan lalu. Kemarin itu
mau saya tukar tambah dengan hape yang itu lho mbak, yang layarnya besar. Eh,
sampai tempatnya kok hape anak saya ditawar murah sekali. Kata penjualnya hape
anak saya rusak suaranya. Disuruh servis dulu. Yasudah mbak, tidak jadi tukar
tambah. Lebih baik beli baru. Tapi jengkel sekali mbak. Sudah jauh. Panas. Yang
naik sepeda itu lho mbak.)
Aku : “Nggih pun sabar pak. Mending tumbas sing anyar mawon daripada didol
malah mudhun katah.” Aku pun hanya bisa memberi komentar seperti itu.
(Ya
yang sabar pak. Lebih baik beli yang baru saja daripada dijual turun banyak.)
Seketika itu,
keheningan terjadi diantara kami. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari
mulut kami. Hanya kendaraan yang lalu lalang yang menghiasi pemandangan siang
hari itu.
Beberapa
menit kemudian, ada sesuatu yang ingin ku tanyakan pada si bapak.
Aku : “Lhoh pak, lare SD kok angsal mbetho hape tho pak? Kaleh guru mboten
didukani menopo?”
(Lhoh
pak, anak SD kok boleh membawa hape pak? Sama guru apa tidak dimarahi?)
Si bapak :
“Sakjane nipun mboten angsal mbetho mbak.
Anak kulo niku nggih lhe mbetho meneng-meneng mbak. Nek nganti ketauan guru
nggih disita ngantos jam pelajaran bubar. Kulo nate dipanggil ten sekolah
gara-gara anak kulo ketauan mbetho hape,” beber si bapak dengan penuh
kesedihan.
(Sebenarnya
tidak boleh bawa mbak. Anak saya itu ya membawanya diam-diam mbak. Kalau sampai
ketauan guru nanti disita sampai jam pelajaran selesai. Saya pernah dipanggil
ke sekolah gara-gara anak saya ketauan membawa hape.)
Aku :
“Oalah.. Kok neko-neko tho pak anak SD
dho mbetho hape? Ngge nopo tho pak?” tanyaku penuh penasaran kenapa anak SD
jaman sekarang kebanyakan membawa handphone ke sekolah. Padahal jaman ku dulu,
handphone sangat mewah bahkan tak ada yang punya.
(Oalah..
kok aneh-aneh sih pak anak SD pada membawa hape? Untuk apa sih pak?)
Si bapak :
“Niku lho mbak. Dingge sms ngabari nek manthuk
jam pinten. Nek dereng dipethuk, saget sms.”
(Itu
lho mbak. Dipakai untuk sms mengabari kalau pulang jam berapa. Kalau belum
dijemput bisa sms.)
Aku :
“Oooooh… Kulo rumiyin jaman nipun wartel
pak, hehe.” canggih sekali anak jaman sekarang. Gahuuul. Aku tak habis
pikir dengan alasan yang dibuat oleh anak-anak itu. Alasan sebenarnya atau
alibi saja untuk dibelikan handphone seperti milik teman-temannya. Dan yang
terpenting, mereka membutuhkan pulsa dan bisa dibayangkan berapa uang saku
mereka. ckck.
(Ooooh…
Saya dulu jamannya wartel pak, hehe.)
Si bapak :
“Sak niki wartel jarang nggih mbak. Malah mboten wonten,”
(Sekarang
wartel jarang mbak. Malah tidak ada.)
Aku :
“Nggih pak. Pun wonten handphone.”
(Iya
pak. Sudah ada handphone.)
Si bapak : “Mbak, hape sing
layare gedhe niku nopo mbak jenenge, berry?”
(Mbak,
hape yang layarnya besar itu namanya apa mbak, berry?)
Aku :
“Blackberry?”
Si bapak : “Nggih niku mbak.
Sak niki pinten nggih mbak?”
(Iya
itu mbak. Sekarang harganya berapa ya mbak?)
Aku :
“Nek niku tasih awis pak. Paling mirah
nggih sak yuta setengah.”
(Kalau
itu masih mahal pak. Paling murah ya satu juta setengah.)
Si bapak :
“Larang yo mbak, hehe.”
(Mahal
ya mbak, hehe.)
Aku : “Lha pripun tho pak,” rasa penasaran ku menggelitik untuk tau lebih
jauh.
(Lha ada apa pak?)
Si bapak :
“Niku lho, mbak, anak kulo kepingin
tumbas hape sing layare gedhe koyo blackberry niku. Wonten kamerane. Anak kulo
kepengaruh rencang-rencange mbak. Rencang-rencange dho mbetho hape sing wonten
kamerane lan layare gedhe. Wah susah kulo mbak nek pun njaluk e koyo ngoten,”
curhat si bapak panjang lebar dengan wajah memelas.
(Itu
lho mbak, anak saya kepingin beli hape yang layarnya besar seperti blackberry
itu. Ada kameranya. Anak saya terpengaruh teman-temannya mbak. Teman-temannya
pada membawa hape yang ada kamera dan layar besar. Wah susah mbak kalau sudah
minta yang seperti itu.)
Aku :
“Nggih mboten usah dituruti pak. Nopo
ditumbaske sing mirah-mirah mawon. Sak niki katah hape sing bentuke koyo
blackberry tapi merk China pak. Regi nipun nggih mirah,” aku mencoba
memberi solusi kepada si bapak. Walaupun ada perasaan kasihan dan tak tega
padanya.
(Ya
tidak perlu dituruti, pak. Atau dibelikan yang murah-murah saja. Sekarang banyak
hape yang bentuknya seperti blackberry tapi merk China pak. Harganya ya murah
pak.)
Percakapan singkat di siang
hari itu begitu membekas dan mengena di diriku. Pasalnya, kemajuan teknologi
yang begitu pesat saat ini, tak dapat dipungkiri mempengaruhi perilaku seorang
anak yang tadinya nrimo dengan
keadaan orang tua berubah menjadi anak yang penuntut. Penuntut untuk memiliki
barang elektronik seperti hape dengan fitur yang lebih canggih tanpa
memedulikan penghasilan dari orang tuanya sebesar berapa. Tanpa mengerti dengan
keadaan perekonomian keluarganya. Sangat menyedihkan sekali. Dan hal tersebut
belum sepantasnya dilakukan oleh bocah berumur 10 tahun yang notabene belum
sepenuhnya butuh akan kehadiran handphone di kehidupan sehari-harinya.
Dari
keadaan seperti seorang anak yang membawa handphone ke sekolah pun dapat
menimbulkan kecemburuan sosial diantara teman-temannya. Pasalnya ada tipe
seorang anak yang “pinginan (kepingin)” jika ada teman-temannya yang memiliki
handphone. Tipe seperti ini cenderung menuntut orang tua agar dibelikan barang
yang sama dengan temannya tersebut tanpa mengetahui keadaan orang tua. Dan
orang tua yang terbiasa memanjakan anak, akan dengan mudah menurutinya meskipun
sebenarnya tak ada uang. Hmmmmh, benar-benar teknologi membuat gila para orang
tua. Terkadang kehadirannya mempermudah hidup. Terkadang pula kemunculannya
membuat gila. Berlaku arif dan bijaksanalah dengan kehadirannya.